Tuesday, February 8, 2011

Blog Ghuroba :: Tawasul Antara Sunnah, Bid’ah, dan Syirik :: November :: 2007

Blog Ghuroba :: Tawasul Antara Sunnah, Bid’ah, dan Syirik :: November :: 2007


Redaksi Al Wala’ Wal Bara’

Do’a adalah seutama-utamanya pendekatan diri yang menghubungkan seorang hamba dengan penciptanya. Telah shahih hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau bersabda (yang artinya), "Doa adalah ibadah" (HR. Abu Dawud, disahihkan oleh Al Albany dalam Shahih Sunnan Abu Dawud) hal ini disebabkan karena pada diri orang yang berdoa terkumpul sifat kehinaan, ketundukan dan kebergantungan kepada Dzat yang di Tangan-Nya lah perbendaharaan segala sesuatu.

Dengan do’a yang kedudukannya seperti ini, Allah Azza Wajalla memerintahkan hamba-Nya untuk berdoa di setiap keadaan. Allah ta’ala berfirman "Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas" (Al A’raf:55). Kemudian Allah menjelaskan kepada mereka bahwa di antara sarana-sarana diharapkan doa tersebut diterima adalah berdo’a dengan nama-nama dan sifat Allah, sebagaimana Allah katakan (yang artinya): "Hanya milik Allah asmaulhusna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaulhusna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan." (Al A’raf : 180)

Maka disyariatkan bagi orang yang berdo’a untuk memulai do’anya dengan bertawasul (menjadikan perantara) dengan menyebut nama Allah dan sifat-Nya yang berkaitan dengan doa tersebut. Apabila seorang muslim menginginkan kasih sayang dan ampunan Allah maka dia berdoa kepada Allah dengan nama-Nya yaitu Ar Rahman dan Ar Rahim, Al Ghafur, Al Karim. Apabila dia menginginkan rizki, maka dia berdoa kepada Rabbnya dengan nama Ar Razzaq (Maha Pemberi Rizki), Al Mu’thi (Maha Pemberi), Al Jawwad (Maha Penderma), demikianlah seorang yang berdoa hendaklah dia berdoa dengan perantaraan nama-nama yang sesuai dengan hal yang dia inginkan, karena hal ini menjadi sebab diterimanya doa.

Tawasul Yang Disyariatkan (Sunnah)


Tawasul dalam berdoa ada beberapa macam, di antaranya ada tawasul yang disyariatkan, ada pula tawasul yang terlarang. Di antara tawasul yang yang disyariatkan adalah tawasul dengan amalan shaleh yang telah dilakukan oleh seorang hamba. Allah ta’ala berfirman (yang artinya): "Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami mendengar (seruan) yang menyeru kepada iman (yaitu): "Berimanlah kamu kepada Tuhan-mu", maka kami pun beriman. Ya Tuhan kami ampunilah bagi kami dosa-dosa kami dan hapuskanlah dari kami kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami beserta orang-orang yang berbakti" (Ali Imran :193).

Maka perhatikanlah bagaimana mereka bertawasul dengan keimanan terhadap Rabbnya Jalla Wa’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengisahkan kepada kita kisah tiga orang yang sedang berjalan, kemudian turunlah hujan lebat, sehingga mereka mencari tempat perlindungan di sebuah gua di bukit yang mereka daki, namun mereka terperangkap di depan pintu gua yang sangat kokoh sehingga mereka tidak bisa keluar darinya, merekapun berusaha untuk menyingkirkan batu tersebut akan tetapi mereka tidak mampu, akhirnya merekapun sepakat untuk berdoa kepada Allah Azza Wajalla dengan sebaik-baiknya amalan shaleh yang telah mereka kerjakan. Maka salah seorang diantara mereka bertawasul dengan perbuatan baktinya kepada orang tuanya, yang lain bertawasul dengan baiknya pengawasan dan penggunaan harta majikannya, dan yang lain dengan meninggalkan zina setelah zina itu memungkinkan baginya. Ketika salah seorang dari mereka berdoa maka tersingkirkanlah sedikit dari batu karang itu, akan tetapi mereka tetap tidak bisa keluar darinya, sampai lengkaplah ketiganya berdo’a yang akhirnya tersingkirlah batu karang tersebut dari depan pintu sehingga mereka bisa keluar darinya dengan leluasa. Maka disyariatkan bagi seorang muslim jika dia hendak berdo’a kepada Allah Azza Wajalla untuk bertawasul dengan amalan shaleh yang dia harapkan amalan itu ikhlas untuk Allah.

Di antara tawasul yang disyariatkan adalah memohon doa dari orang-orang shaleh yang masih hidup, hal ini karena seorang hamba berbeda-beda dalam kebaikannya, kedekatannya dan kedudukannya di sisi Allah. Oleh karena itu para sahabat begitu bersemangat meminta do’a kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dengan harapan diterima dan dikabulkan do’anya. Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu berkata: "Saya mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda "Masuk ke dalam sorga dari umatku sekelompok orang yaitu 70 ribu orang, wajah-wajah mereka bercahaya layaknya bulan purnama", berdirilah Ukasyah bin Mihshon berkata "Do’akanlah aku wahai Rasulullah agar aku termasuk di antara mereka", beliau bersabda "Ya Allah jadikanlah dia diantara mereka" (HR.Bukhari dan Muslim).

Di antara tawasul yang disyariatkan adalah menyebutkan kelemahan dan sangat butuhnya orang yang berdoa kepada Allah. Seperti mengatakan "Ya Allah sesungguhnya aku sangat butuh kepada-Mu, aku adalah tawanan-Mu, sanagat mengharapkan ampunan-Mu, pengharapanku dari-Mu terhadap rahmat dari sisi-Mu". Adapun dalil bahwa contoh semacam ini adalah termasuk tawasul yang disyariatkan adalah doa Dzakaria ‘alaihi salam (yang artinya), "Ya Tuhanku, sesungguhnya tulangku telah lemah dan kepalaku telah ditumbuhi uban, dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada Engkau, ya Tuhanku. Dan sesungguhnya aku khawatir terhadap mawaliku sepeninggalku, sedang istriku adalah seorang yang mandul, maka anugerahilah aku dari sisi Engkau seorang putra" (Maryam:4-5) dan di antaranya juga perkataan Musa ‘alaihi salam "Ya Tuhanku sesungguhnya aku sangat memerlukan sesuatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku". (Alqashash:24)

Maka ini adalah sebagian dari macam-macam tawasul yang disyariatkan yang semestinya seorang muslim untuk bersemangat kepadanya, dan membuka do’a dengannya sebagai wujud permintaan kepada Allah untuk ditunaikan hajatnya.

Tawasul Bid’ah dan Syirik


Kemudian ada beberapa macam tawasul yang dilakukan oleh sebagian manusia, di antaranya ada yang mencapai batas bid’ah, dan syirik dengan anggapan bahwa yang mereka perbuat adalah perbuatan taqarub kepada Allah. Sesungguhnya mereka tidak mengerti bahwa perbuatan taqarub kepada-Nya hanyalah dengan sesuatu yang disyari’atkan bukan dengan hawa nafsu dan kebid’ahan.

Di antara macam tawasul yang bid’ah adalah meminta do’a dari orang yang telah mati,seperti datang kepada mayit yang dikubur padahal dia sendiri tidak dapat mendatangkan manfaat ataupun madharat terhdap dirinya sendiri, kemudian orang tersebut minta darinya agar dia mendo’akan kepada Allah baginya dalam suatu perkara seperti kesembuhan dari sakitnya. Dalil tentang bid’ahnya tawasul ini adalah tertolaknya dalil yang membolehkannya, padahal ibadah hanyalah diperbuat dengan ittiba (mengikuti dalil) bukan dengan ibtida’ (membuat bid’ah). Hal lain yang menunjukan bid’ahnya tawasul ini adalah para shahabat yang mereka itu sangat banyak ilmunya dan paling keras dalam mengambil contoh terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, mereka sedikitpun tidak pernah mengamalkan amalan ini. Kalau seandainya amalan ini baik niscaya mereka lebih dulu dalam mengamalkannya, sampai Umar radhiyallahu anhu ketika terjadi masa kekeringan di Madinah, beliau mendatangi Abbas paman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam agar dia mendoa’kan kepada Allah agar mendurunkan hujan, tidaklah Umar meminta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di kuburannya karena Umar tahu tentang terlaranagnya hal tersebut.


Adapun yang termasuk tawasul yang diada-adakan manusia dan ini termasuk katagori syirik adalah meminta kepada orang mati untuk dihilangkannya kesempitan dan dipenuhi segala kebutuhannya. Siapa saja mayit itu baik seorang yang shaleh, nabi ataupun para rasul. Hal ini karena doa adalah ibadah dan ibadah itu tidak boleh diperuntukkan kecuali untuk Allah ta’ala. Maka berdoa kepada selain Allah adalah syririk dan menghinakan. Allah berfirman (yang artinya), "Dan Tuhanmu berfirman: "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahanam dalam keadaan hina dina" (Ghafir:60).


Kemudian Allah pun memerintahkan agar do’a itu hanya bagi-Nya dan mengkaitkan jawaban atas doa itu dengan keikhlasan kepada-Nya "Hanya bagi Allah-lah (hak mengabulkan) doa yang benar. Dan berhala-berhala yang mereka sembah selain Allah tidak dapat memperkenankan sesuatu pun bagi mereka, melainkan seperti orang yang membukakan kedua telapak tangannya ke dalam air supaya sampai air ke mulutnya, padahal air itu tidak dapat sampai ke mulutnya. Dan doa (ibadah) orang-orang kafir itu, hanyalah sia-sia belaka." dan juga firman-Nya: "Dan janganlah kamu menyembah apa-apa yang tidak memberi manfaat dan tidak (pula) memberi mudharat kepadamu selain Allah; sebab jika kamu berbuat (yang demikian) itu, maka sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk orang-orang yang lalim".(Yunus 106)


Maka ini adalah macam-macam tawasul dalam do’a dan hukum-hukumnya, semestinya bagi setiap muslim untuk lebih bersemangat terhadap parkara yang disyariatkan, dan bersungguh-sungguh dalam berdo’a kepada Allah dalam segala keadaan, sampai Allah tahu jujurnya kefaqiran dia terhadap-Nya sehingga Allah mengabulkan do’anya dan menolongnya. Dan bagi setiap muslim juga wajib untuk menjauhkan diri dari tawasul yang bid’ah, dan supaya menjauhkan diri sejauh-jauhnya dari tawasul yang syirik, kalau hal itu sangat berbahaya terhadap agama dan aqidah seorang muslim. Kami minta kepada Allah agar menjadikan kita termasuk orang yang mendengar ucapan ini kemdian mengikuti yang terbaik darinya. Sesungguhnya segala puji hanya untuk Allah.


Judul Asli:
Tawasul (Menjadikan Perantara dalam Ibadah) Antara Sunnah, Bid’ah, dan Syirik

Sumber: Buletin Al Wala’ Wal Bara’ Bandung
Edisi ke-21 Tahun ke-1 / 09 Mei 2003 M / 07 Rabi’ul Awwal 1424 H

4 comments:

Hamba Allah said...

Salam Brader,

Since takde sapa2 komen hang punya blog, izinkan aku take the honour.

Nampaknya hang ni dari grup Sunnah dan bukan dari orang yg hang label bid'ah.

Aku ok je kalau hang nak duduk dalam grup mana pun asalkan hang orang Islam.

Aku pun ada ramai kawan2 orang Sunnah dan juga selalu pi kuliah Ustaz2 Sunnah macam Ustaz FB, Ustaz Fadlan, Ustaz Fadzil, Ustaz Idrus dan ramai lagilah. Ustaz Abdullah Yasin pun kadang2 aku pi.

Aku pi pasai nak cari ilmulah. Bukan nak cari buah nak hentam orang.

Ini pandangan aku.
Kalau hang baca sikit lagi (luaskan pengajian hang tu dan jangan dok fokus kat satu fikrah saja), hang akan dapati kalu hang follow sunnah ka, tak sunnah ka....semuanya pakai pendapat ulama-ulama terdahulu.

Geng2 Sunnah ni cakap saja kata balik kepada hadis dan ulama2 salaf, tapi depa berfikiran begitu pasai depa pun ikut pendapat ustaz dan tok guru2 depa jugak.

Tak ada sorang pun dari kita yng dapat direct dari Nabi saw.

Dapat hadis pun dari tok guru2 jugak...dan tok guru2 ni kata, kena follow hadis sahih saja, hadis daif tu macam hadis palsu, jangan pakai.

Itu pendapat tok guru Sunnah tu, bukannya kata Nabi saw.

Dan tok guru tu dengar dari tok guru dia, dengar dari tok guru dia, dari tok guru dia...dan akhirnya sampai ke Imam As Syafie misalnya....tapi Imam Syafie tak kata pun jangan ikut hadis dhaif.

Dia kata kalau hang jumpa hadis yang sahih itulah mazhab dia, lalu tok guru hang berpendapat Imam Shafie tu tak suruh kita follow apa-apa yang dia dah buat kalau jumpa hadis2 yang lebih power dari hadis dia.

Itu pendapat tok guru tu, berdasarkan pemahaman dia pada kata-kata Imam Shafie tu.

Itu bukannya hadis Nabi saw.

Ada tok guru lain (yg mungkin hang kata tak sunnah) berpendapat macam lain. Jadi kalau orang lain nak ikut tok guru2 ni tak bolehkah macam hang ikut tok guru hang tadi? Cuba hang check tengok, entah-entah Imam Nawawi pun tak sunnah jugak.

Jadi semua ni bergantung kepada sapa (ie tok guru mana) yang kita rasa lebih betul pendapatnya, gitulah.

Aku yang tak sunnah ni hormat semua ulamak, Syeikh al-Albani ka, Syeikh Uthaimin ka, Ustaz Rasul Dahri ka dan aku tak akan andaikan yang bukan2 kat depa, sama dengan aku muliakan Imam an-Nawawi, Abu Hassan Al Asya'ri, pasai depa semua muliakan Nabi saw.

Apa kata hang andaikan pulak sahabat2 Nabi yang bertelingkah sesama sendiri di zaman Uthman, Ali dan Muawiyyah r.anhum....adakah depa tak ingat Quran dan Hadis yang kata orang Islam itu bersaudara?
Bukan setakat bertekak, tapi sampai berbunuh-bunuhan lagi.

Adakah hang nak kata depa tak ikut sunnah?

You see brader...dok andai2 orang dulu2 ni, tak de pekdahnya. Sebab depa ni bukan saja jauh lagi tinggi ilmu tetapi juga lebih rendah diri dari kita semua.

Memangla sama2 depa ada yang tak bersetuju antara satu sama lain, tapi itu kan pendapat depa, atas dasar kewarakan dan ketaqwaan depa.....kita pulak ikut mana yang kita rasa ok, dan janganlah dok mengata dan mengandai2 pulak.

Kita yang hidup zaman ni, kita amiklah menafa'at dari ilmu depa.

Dah cukup banyak dah perpecahan umat Islam la ni, tak payah lah kita dok tambahkan lagi perpecahan tu.

Wallahu'alam.

Wassalam.

Kalau hang nak sembang2 ngan aku bolehlah emel aku kat samarahan@gmail.com.

Ibnu Hasan Al-Amin Ar-Rembawi said...

Sila perkenalkan diri hang, hang buat komen di sini melalui Blogger tapi hang tak izinkan nama blog hang dipamerkankan.

Kalau hang nak jadi orang yang berilmu dan beramal, jangan puaskan diri hang dengan seorang guru sahaja, walaupun guru itu sangat alim lagi salafi sunnah. Menghadkan diri pada satu-satu guru sahaja munkin akan menjurus seseorang itu kepada sikap melampau. Walaubagaimana pun grup yang tegar atas jalan bid'ah memang patut kami cela atau tahzir.

Setiap kumpulan yang berazam untuk berjalan atas manhaj sunnah atau salaf tentu mempunyai kelemahan masing-masing, sebab itulah kita dilarang untuk bersikap ta'sub kepada mana-mana kumpulan itu sebagaimana kita dilarang untuk bersikap ta'sub terhadap mana-mana mazhab fiqh. Setiap yang datang dari kumpulan sunnah hendaklah dinilai dengan Al-Quran dan As-Sunnah dengan fahaman salaf.

Hang tahu tak apa itu manhaj salaf. Manhaj salaf dan kumpulan-kumpulan yang berazam untuk mengikuti manhaj salaf adalah tidak sama.

Untuk membezakan kumpulan sunnah dengan kumpulan bid'ah, lihatlah pada manhaj pegangan mereka, adakala kita boleh kenal manhaj pegangan mereka berdasarkan hanya pada kata-kata dan tulisan mereka.

Ibnu Hasan Al-Amin Ar-Rembawi said...

Di zaman ini, kalau ada sesiapa yang mengaku mendapat ilmu direct dari Nabi s.a.w., maka dia itu bolehlah dikatakan pembohong (kazzaab). Ilmu diperolehi dari Al-Quran dan tafsirnya yang sahih dan juga dari Al-Hadis dan pemahamannya dari para sahabat Nabi s.a.w. Semua itu sudah tertulis dalam kitab-kitab (kutub) dan suhuf-suhuf. Contohnya kitab Jami' Sahih Al-Bukhariy sudah tertulis dan sampai ke generasi kita hari ini.

Oleh itu aku nasihatkan hang supaya jangan bawakan isu yang kita dan semua ulamak di zaman ini tidak dapat ilmu direct dari Rasulullah s.a.w.. Isu ini tidak patut hang bawa walau di mana sahaja.

Hang ada belajar tak ilmu mustolah al-hadis? Kalau hang ada belajar, hang akan jumpa bahawa yang dikatakan hadis itu terdiri dari sanad dan matan. Sanad ialah mata rantai periwayatan sesuatu matan hadis itu, tanpa sanad maka hadis itu bukannya hadis. Dengan sanadlah ulamak hadis menilai riwayat itu samada sahih atau dho'if. Cara hang cakap yang Imam Asy-Syafi'I tidak ada sebut menolak hadis dhoif, menunjukkan hang tidak tahu apa-apa tentang ilmu sanad. Kalau hang baca kitab utama Asy-Syafi'iy iaitu Al-Umm hang akan dapati dia meriwayatkan hadis dengan sanadnya. Kalau dia nilai sanad hadis itu berdasarkan ilmunya sebagai dhai'if tentulah dia tidak akan masukkan dalam qaulnya. Namun penilaian sanad oleh Asy-Syafi'i bukan suatu yang muktamad kerana telah terbukti ada ulamak di kemudian hari telah buat penilaian semula terhadap hadis yang dia gunakan itu.

Kalau hang belajar ilmu usul hadis, hang akan tahu ulamak-ulamak hadis berusaha keras untuk meyaring ribuan hadis untuk di pisahkan mana yang sahih dan mana yang dha'if. Kalau hang belajar ilmu usul hadis hang sudah pasti akan berjumpa yang Imam Asy-Syafi'i adalah salah seorang dari ribuan ulamak hadis sepanjang zaman. Dari situ hang akan tahu yang ulamak hadis menolak penggunaan hadis dho'if sebagai hujjah. Oleh itu aku nasihatkan hang supaya cermat dalam berkata-kata mengenai hadis ini.

Ulamak-ulamak besar zaman dulu telah berusaha keras untuk menegakkakn sunnah dalam tulisan dan qaul mereka. Namun mereka itu adalah makhluk manusia yang tetap akan berbuat silap dalam penilaian terhadap sesuatu hadis dan silap dalam mengistimbat sesuatu hukum. Walaubagaimana alim pun mereka seperti An-Nawawi mereka tetap ada kesilapan mereka. Manhaj sunnah akan menilai tulisan ulamak-ulamak beserta dalil yang mereka sertakan, akan dinilai apakah hadis yang digunakan itu sahih atau dho'if. Oleh itu kalau sekiranya didapati imam kesayanagn hang itu dikritik secara ilmiyyah kerana penggunaan hadis yang dho'if dan salah cara pengistimbatannya maka hang janganlah melatah dengan menganggap orang lain telah tuduh imam kesayangan hang itu tidak ikut sunnah. Hang kena belajar lagi metod manhaj dalam pembahasan ilmiyyah yang dibuat oleh ulamak-ulamak sunah, cara mereka sangat berbeza dari cara cara orang bid'ah.

Nampaknya hang ini kurang membaca tapi banyak mendengar. Membaca dan mendengar pelajaran adalah sangat penting dalam mencari ilmu. Apakah hang tidak baca secara detail qaul-qaul imam-imam mazhab yang imam berkenaan sikap apabila berhadapan dengan hadis sahih dan apabila pendapat mereka sendiri yang bertentangan dengan hadis sahih itu? Terdapat banyak riwayat berkenaan perkara ini termasuk dari ulamak besar yang lain dari mereka. Oleh itu kalau ada guru di zaman ini yang bawakan qaul Imam Asy-Syafi'i berkenaan peri pentingnya ikut hadis yang sahih dan buangkan pendapatnya yang menyalahi hadis sahih, maka hang hendaklah faham bahawa guru itu telah baca qaul Imam Asy-Syafi'i itu yang telah sampai ke zaman ini secara sahih, bukan pandai-pandai guru itu mereka (mencpa) kisah Imam Asy-Syafi'i. Aku nasihatkan hang supaya rajin membaca dan mintak nasihat dari golongan sunnah apa bahan bacaan yang baik.

Ibnu Hasan Al-Amin Ar-Rembawi said...

Hang mengatakan yang hang itu tak sunnah, itu adalah satu sikap yang kurang baik, sepatutnya setiap muslim yang mukmin mesti ada dalam dadanya untuk mengikuti (ittiba') sunnah Nabi s.a.w. keseluruhannya. Bukannya sudah puas hati yang dirinya tidak sunnah dan merasa bangga pulak tu. Aku taklah mengatakan hang bangga yang hang tu tak sunnah.

Kita semua wajib bersatu atas dasar iman yang sahih dan sunnah yang satu. Bukannya bersatu atas dasar bid'ah yang sangat engkar kepada Allah dan RasulNya. Sekiranya ada puak yang berkeras hendak berada atas manhaj bid'ah yang jelas maka perpecahan pasti berlaku. Aku nak tanya hang, hang faham tak betapa sangat pentingnya mengikuti sunnah dan menjauhi bid'ah. Nabi s.a.w. dan para sahabatnya dan ulamak-ulamak salaf mempertakutkan ummat dengan bid'ah supaya dijauhi bid'ah itu. tapi ada orang merasa yang terlebih pandai dari salaf itu yang mengingkari usaha mempertakutkan ummat dengan bid'ah lantas mencela mereka dan memberi gelaran-gelaran seperi wahabi, wahababi dan wahabiol.