Saturday, May 26, 2012

Musuh Dakwah Asy-Syaikh Al-Albani

Kategori: Majalah AsySyariah Edisi 077
(ditulis oleh: Al-Ustadz Qomar Suaidi, Lc)


Para musuh dakwah beliau tak lepas dari salah satu dari sifat-sifat berikut ini,
1. Al-hadatsah (kemudaan)
2. Kedangkalan ilmu
3. Bid’ah
4. Suka untuk tampil
5. Merasa sebagai syaikh


Berbagai tuduhan tak berdasar dilontarkan kepada beliau dari beraneka ragam musuh dakwahnya. Tetapi, itu adalah sebuah risiko yang mesti terjadi di saat seseorang menjalankan sunnah Nabi n. Itulah yang terjadi pada asy-Syaikh al-Albani. Kami akan buktikan, insya Allah, bahwa berbagai tuduhan dan tudingan tersebut tidak sesuai dengan kenyataan. Namun, saya di sini akan memfokuskan pada beberapa hal saja dan terkhusus yang tersebar di negeri kita, karena keterbatasan waktu dan ruang.
Di antara tuduhan tersebut adalah sebagai berikut.


Tuduhan Berpemahaman Murji’ah

Tak diragukan bahwa tuduhan tentulah berasal dari orang-orang yang berpemahaman takfir atau terpengaruh oleh pemahaman mereka. Akan tetapi, yang lebih menyakitkan adalah ketika tuduhan itu juga dilontarkan oleh orang yang dianggap sebagai salafi juga. Asal tuduhan ini, karena asy-Syaikh al-Albani adalah tokoh yang sangat keras menentang pemikiran takfir (mengafirkan kaum muslimin) dan gerakan kelompok takfir, sehingga beliau tentu menjadi sasaran tudingan mereka. Safar al-Hawali, seorang yang berpemahaman Ikhwanul Muslimin atau takfir, menjadi salah satu pelopor tuduhan ini dalam bukunya, Zhahiratul Irja’. Tuduhan itu pun semakin tenar sehingga tak sedkit yang membeo mengikuti jejak Safar al-Hawali.
Benarkah tuduhan itu?

Siapakah yang disebut Murji’ah? Mereka adalah yang meyakini bahwa amal bukan termasuk iman, iman tidak bertambah serta berkurang, serta perbuatan dosa tidak menurunkan iman.

Dari keterangan siapakah yang disebut Murji’ah, sama sekali syaikh al-Albani tidak masuk dalam kategori mereka. Lihatlah keyakinan beliau dalam hal iman. Amal adalah bagian penting dalam iman dan dengan hanya pelanggaran anggota badan, seseorang bisa lepas sama sekali dari iman. Dua hal ini termasuk yang sangat membedakan antara Ahlus Sunnah dengan Murji’ah dalam hal iman. Sebagai bukti dalam al-Aqidah ath-Thahawiyah pada poin no. 58 dan 62.

Ketika ath-Thahawi mengatakan, “Dan kami tidak mengatakan ‘Tidak bermudarat dengan adanya iman dosa apa pun bagi orang yang melakukannya’.”

Beliau memberikan komentar, saya katakan, “Hal itu karena ucapan tersebut merupakan pendapat orang-orang Murji’ah yang mengarah kepada pendustaan terhadap ayat-ayat ancaman dan hadits-haditsnya yang datang (menerangkan) tentang para ahli maksiat dari umat ini, dan bahwa kelompok-kelompok dari mereka yang maksiat itu akan masuk ke neraka lalu keluar darinya dengan syafaat atau yang lainnya.

Juga ketika ath-Thahawi t menjelaskan tentang iman dan beliau keliru padanya yaitu, “Iman adalah ikrar dengan lisan dan pembenaran dengan kalbu.”
Beliau memberikan komentar, “Ini adalah mazhab Hanafiyyah dan Maturidiyyah. Berbeda dengan mazhab salaf dan mayoritas para imam seperti al-Imam Malik, Syafi’i, Ahmad, al-Auza’i, dan yang lain, karena mereka menambahkan pada ikrar dengan (lisan) dan pembenaran itu dengan tambahan pengamalan dengan anggota badan.”

Kiranya dua kutipan ini saja sudah cukup sebagai bukti lepasnya beliau dari tuduhan berdosa tersebut bagi orang yang adil dan berakal.

Alhamdulillah para ulama telah bersaksi atas lurusnya akidah dan keyakinan beliau, di antaranya asy-Syaikh Ibnu Utsaimin, beliau t berkata, “Barang siapa menuduh asy-Syaikh al-Albani sebagi Mur’jiah maka dia telah salah, mungkin dia tidak tahu apa itu Murji’ah atau siapa itu al-Albani.”


Tuduhan Penulis Blog Jamaah Tabligh

Dalam blog Jamaah Tabligh, dengan bahasa yang sangat merendahkan, penulis meremehkan ilmu haditsnya, dengan mengatakan, “Sebetulnya, kapasitas ilmu tukang reparasi jam ini sangat meragukan (kalau tak mau dibilang “ngawur”).”

Rasanya tak perlu saya jawab panjang lebar, karena terlalu rendah omongannya. Maklum, omongan orang yang tidak tahu ilmu hadits, tentu saja tidak menghargai ahli hadits. Begitulah seseorang apabila bicara bukan pada bidangnya. Adapun orang-orang yang paham ilmu hadits tidak akan meragukan keilmuannya. Bias jadi, penulis tersebut tidak pernah membaca Silsilah ash-Shahihah dan kitab beliau yang lain. Bisa jadi pula, dia tidak bisa membaca kitab gundul, atau tidak paham pembahasan mushthalah. Maklumlah, kesibukan Jamaah Tabligh (JT) dalam urusan lain.


Celaannya Terhadap Profesi Reparasi Jam

Sebetulnya, kapasitas ilmu tukang reparasi jam ini sangat meragukan (kalau tak mau dibilang “ngawur”).

Demikian tertulis dalam blog JT tersebut. Aneh bila kerjaan yang halal itu dicela, padahal Nabi n telah menganjurkan makan dari hasil kerja sendiri dan untuk berkerja yang halal walupun tampak sepele,

لَأَنْ يَحْتَزِمَ أَحَدُكُمْ حُزْمَةَ حَطَبٍ عَلَى ظَهْرِهِ فَيَبِيعَهَا خَيْرٌ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ رَجُلاً فَيُعْطِيَهُ أَوْ يَمْنَعَهُ.
“Seseorang mengikat seikat kayu bakar lalu menggendongnya di atas punggungnya lebih baik daripada meminta-minta kepada seseorang, yang mungkin memberinya atau tidak memberinya.” (Sahih, HR. an-Nasa’i dan yang lain, dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani)

مَا كَسَبَ الرَّجُلُ كَسْبًا أَطْيَبَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ
“Tidaklah seseorang memperoleh suatu penghasilan yang lebih bagus dari kerjaan tangannya sendiri.” (Sahih. HR. an-Nasa’i dan yang lain, dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani)

Bagaimana dengan dua hadits di atas? Apakah kamu tidak akan menerima lantaran saya sebutkan bahwa yang menyatakan sahih adalah asy-Syaikh al-Muhaddits al-Albani?
Sungguh, pekerjaan tersebut lebih baik dari pada seseorang menjadi direktur bank atau kantor pajak. ”Nabi Zakariya dahulu adalah seorang tukang kayu,” (Sahih, HR. Muslim)


Tidak Berguru kepada Ahli Hadits

Tentu itu hanya sebatas tuduhan. Selintas, pada biografi singkat telah dijelaskan bahwa beliau tumbuh dalam keluarga yang agamis dan sejak berusia dini telah belajar dasar-dasar ilmu agama. Bahkan, ayahnya tidak memasukkannya ke sekolah lanjutan demi untuk diajari khusus ilmu agama oleh ayahnya dan teman-teman ayahnya, yang mereka bukan guru biasa, bahkan terhitung ulama di kalangan mereka.

Beliau pun ikut serta dalam seminar-seminar seorang ulama besar semacam Muhammad Bahjat al-Baithar. Dengan demikian, ketika menginjak dewasa dan mengarungi lautan ilmu, beliau bukan seperti orang buta yang berenang di lautan. Bahkan, ia melihat dan telah memiliki berbagai macam alat dan dasar-dasar teknik mengarunginya. Ilmu alat dan kunci-kunci ilmu telah beliau miliki.

Dalam ilmu hadits, lihat saja pengakuan ahli hadits dan al-musnid (ahli sanad) di negeri itu, asy-Syaikh Muhammad Raghib at-Thabbakh, yang kagum kepada beliau dalam bidang hadits sehingga memberikan ijazah sanad-sanad hadits kepada beliau, yaitu al-Anwar al-Jaliyyah fi Mukhtashar al-Atsbat al-Hanbaliyyah. Jadi, telaah dan ketekunan beliau dalam mengarungi lautan ilmu adalah pengembangan dan aplikasi dari dasar-dasar ilmu yang selama ini telah tertanam dalam diri beliau.


Menyerupakan Allah  dengan Makhluk

Penulis pada blog Jamaah Tabligh menuliskan, “Menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya sebagaimana dia sebutkan dalam kitabnya berjudul Almukhtasar al Uluww hal. 7, 156, 285.”

Dengan merujuk kepada halaman yang disebutkan, tampaknya si penuduh tidak paham sama sekali atau mungkin tidak membaca dan hanya taklid kepada pencela al-Albani yang lain, atau mungkin tidak bisa membaca Arab gundul.

Pada halaman tersebut sama sekali tidak ada pernyataan beliau yang menyerupakan Allah l dengan makhluk. Bisa jadi, yang dia maksud adalah ketika asy-Syaikh al-Albani menceritakan mazhab ahlul hadits dan Hanabilah dalam hal mengimani kalamullah. Mereka mengimani al-Qur’an itu kalamullah, dan kalam Allah l itu terdengar karena itu suara dan huruf. Bisa jadi, dipahami bahwa ini berarti beliau menyerupakan Allah l dengan makhluk. Dianggap olehnya bahwa suara adalah seperti suara makhluk dan huruf seperti huruf makhluk.

Ya, maaf, itu salah paham yang cukup berat.

Pertama, justru pikiran Anda yang menyerupakan Allah l dengan makhluk. Saat Anda membaca ungkapan itu, langsung Anda hukumi menyerupakan Allah l dengan makhluk. Tidak ada dalam pikiran Anda saat orang menyatakan ‘kalam Allah l dengan suara’ selain gambaran seperti suara manusia atau makhluk lain. Jadi pikiran Andalah yang sudah terkotori oleh tasybih (penyerupaan Allah l dengan makhluk).
Sungguh benar pernyataan ulama dahulu “Setiap orang yang menolak sifat Allah l, pastilah dia juga musyabbih (menyerupakan Allah dengan mahluk).” karena sebelum dia tolak sifat Allah l tersebut, penyerupaan tersebut telah tergambar dahulu dalam pikirannya. Setelahnya, dia menolak hal itu. Apa yang kita bahas menjadi bukti kebenaran pernyataan itu.

Adapun Ahlus Sunnah wal Jamaah, tidak tergambar hal itu karena pikiran mereka tidak kotor dengan tasybih (penyerupaan Allah l dengan makhluk). Oleh karena itu, ketika mereka menyatakan bahwa kalam Allah l dengan suara dan huruf, artinya suara Allah l yang sama sekali tidak serupa dengan suara makhluk dan huruf makhluk. Begitu pula saat menetapkan sifat-sifat Allah yang lain yang ada dalam al-Qur’an atau al-Hadits, seperti cinta, benci, melihat, tangan, dan lain-lain.

“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (asy-Syura: 11)

Adapun landasan Ahlus Sunnah bahwa kalam Allah l dengan suara dan huruf, sangat banyak. Saya akan cukupkan dengan dua saja di sini.

Dari Jabir dari Abdullah bin Unais z, ia berkata bahwasanya ia mendengar Rasulullah n bersabda,

يَحْشُرُ اللهُ الْعِبَادَ فَيُنَادِيهِمْ بِصَوْتٍ يَسْمَعُهُ مَنْ بَعُدَ كَمَا يَسْمَعُهُ مَنْ قَرُبَ: أَنَا الْمَلِكُ، أَنَا الدَّيَّانُ
“Allah mengumpulkan hamba-hamba-Nya, lalu Allah l memanggil mereka dengan suara yang didengar oleh yang jauh seperti yang didengar oleh yang dekat, ‘Akulah Sang Raja. Akulah Yang Maha Membalasi’.” (Sahih, HR. al-Bukhari secara mu’allaq dan Ahmad)

Dari Abdullah bin Mas’ud ia berkata bahwa Rasulullah n bersabda,
مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا، لاَ أَقُولُ الم حَرْفٌ وَلَكِنْ أَلِفٌ حَرْفٌ وَلاَمٌ حَرْفٌ وَمِيمٌ حَرْفٌ.
“Barang siapa yang membaca satu huruf dari kitabullah maka dengannya dia akan mendapat satu kebaikan. Satu kebaikan dilipatkan menjadi sepuluh kali lipatnya. Aku tidak mengatakan bahwa alif lam mim satu huruf. Akan tetapi, alif satu huruf, lam satu huruf, dan mim satu huruf.” (Sahih, HR. at-Tirmidzi)

Itu adalah pernyataan Ahlus Sunnah, dan itulah ijma’ mereka.
Asy-Syaikh al-Albani termasuk ulama yang sangat menentang tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk). Ini terbukti ketika ath-Thahawi menyatakan dalam kitab Aqidah-nya pada poin no. 9, “Dan para makhluk tidaklah menyerupai-Nya.” Asy-Syaikh al-Albani berkomentar, “Pada ucapannya terdapat bantahan terhadap pendapat musyabbihah (orang-orang yang menyerupakan al-Khaliq dengan makhluk). Mahasuci Allah dan Mahatinggi.

Allah berfirman,

“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (asy-Syura: 11)

Beliau kemudian menukil ucapan Abu Hanifah, “Allah tidak menyerupai sedikit pun dari makhluk-Nya, dan tidak pula sesuatu pun dari makhluk-Nya menyerupai-Nya.”
Abu Hanifah melanjutkan, “Dan semua sifat-Nya berbeda dengqn sifat-sifat makhluk. Allah Maha berilmu, namun tidak seperti ilmu kita. Allah Mahamampu, namun tidak seperti kemampuan kita. Allah Maha Melihat, namun tidak seperti penglihatan kita.” (Syarh wa Ta’liq ‘ala al-Aqidah ath-Thahawiyah)


Mengafirkan Orang-Orang yang Tawassul

Penulis blog mengatakan, “Mengafirkan orang-orang yang bertawassul dan beristighatsah dengan para Nabi n dan orang-orang soleh seperti dalam kitabnya at-Tawassul.”

Demikian dengan ringkasnya tuduhan itu dilontarkan untuk membuat momok pada asy-Syaikh al-Albani. Sebetulnya, tuduhan itu adalah tanggung jawab penuduh, karena Allah l bakal menanyainya. Apalagi tuduhan mengafirkan, jangan dianggap sepele! Maka dari itu, semestinya dia tunjukkan dengan jelas pada halaman mana dari kitab tersebut.

Saya dengan segala keterbatasan, mencoba melihat-lihat kembali kitab tersebut (at-Tawassul Anwa’uhu wa Ahkamuhu), namun saya belum dapatkan apa yang mereka sebutkan. Yang saya dapatkan, beliau menuliskan, “Muncullah dari qiyas yang rusak dan pendapat yang tak laku ini kesesatan terbesar tersebut dan musibah terbesar, yang banyak kaum muslimin yang awam, bahkan sebagian orang khususnya, terjatuh padanya. Ketahuilah, itu adalah istighatsah, memohon pertolongan kepada para Nabi n dan orang-orang saleh selain Allah l di saat kesulitan dan musibah….” (hlm. 137)

Lalu beliau menukilkan ucapan sebagian ulama yang mencap bahwa ini perbuatan kekafiran dan kesyirikan.

Jadi, penjelasan beliau ini adalah dalam masalah istighatsah, mohon pertolongan kepada selain Allah l. Kalau tawassul ini sampai pada tingkatan tersebut, yaitu meminta dan berdoa kepada selain Allah l, tentu kafir.
Bagaimana menurut kalian? Apakah kalian sepakat dengan mereka dalam masalah ini?
Apabila kalian sepakat, mengapa kalian mencela al-Albani?
Kalau menurut kalian boleh, berarti kalian membolehkan berdoa kepada selain Allah l, yang itu adalah syirik. Sayangilah agama kalian!

Adapun tawassul dengan para nabi yang tidak sampai kepada tingkatan ini, tetapi bertawassul dengan kedudukannya, misalnya mengucapkan, “Aku mohon kepadamu, ya Allah, dengan kedudukan Nabi n Muhammad,” saya tidak mendapati beliau mengafirkannya, tetapi kata beliau, “Tidak boleh. Tidak disyariatkan karena tidak ada dalil yang pantas jadi landasannya.” (hlm. 46)

Beliau juga menyebutkan bahwa ini adalah bid’ah karena tidak ada satu pun dalam doa al-Qur’an dan hadits yang sahih! Jadi, ini bukan ajaran Nabi n dan amalan para sahabat. Apabila kalian menganggap sunnah sehingga senantiasa mendendangkannya, tunjukkan dalilnya yang sahih! Kami tunggu.

Adapun tawassul dengan Nabi n dan orang saleh saat masih hidup dengan doanya, asy-Syaikh al-Albani membolehkannya. Beliau mengatakan, “Tawassul yang disyariatkan dan ditunjukkan oleh nash-nash al-Kitab dan as-Sunnah, dan diamalkan oleh as-salafush shalih serta disepakati oleh muslimin yaitu:

1. Tawassul dengan salah satu nama Allah l atau salah satu sifat-Nya,
2. Tawasssul dengan amal saleh yang dilakukan orang yang berdoa,
3. Tawassul doa orang saleh.” (hlm. 46)

Inilah ucapan beliau, lantas dari mana celanya, wahai penuduh?
Tawassul itu sesuatu yang Allah l syariatkan sebagaimana dalam salah satu ayat, bagaimana kalian mengamalkan ayat itu? Dengan sesuatu yang Nabi n contohkan atau dengan karangan kalian sendiri?


Melarang Ziarah Kubur

Kata penulis blog JT, “Mengharamkan umat Islam mengunjungi sesamanya dan berziarah kepada orang yang telah meninggal di makamnya.”

Tuduhan ini pun tidak jauh dari yang sebelumnya, murahan dan tidak ilmiah. Mestinya, dia menukilkan sumber sekaligus kutipan yang lengkap. Ingat, kalian akan ditanya oleh Allah l nanti.

Mari kita menyimak penjelasan asy-Syaikh al-Muhaddits al-Albani tentang ziarah dalam kitabnya Ahkamul Janaiz, “Disyariatkan berziarah kubur untuk mengambil pelajaran dan untuk mengingatkan akhirat, dengan syarat dalam ziarahnya tidak mengucapkan kata-kata yang dimurkai oleh Allah l, seperti berdoa kepada orang yang dikubur tersebut, atau memohon pertolongan kepadanya selain Allah l, atau mentazkiyah serta memastikannya masuk surga.” (hlm. 227)


Kontradiksi dalam Menghukumi Hadits

Sebagian orang mengungkapkannya dengan bahasa rendahan, seperti ucapan Abu Salafy, “Syeikh agung mereka yang sering linglung dalam mentashih atau mentadh’if hadis!”
Bahkan, sebagian orang menganggap beliau tidak berhak menghukumi suatu hadits dengan mengatakan, “Sebetulnya, kapasitas ilmu tukang reparasi jam ini sangat meragukan (kalau tak mau dibilang ‘ngawur’).”
Dia sendiri mengakui bahwa sebenarnya dia tidak hafal sepuluh hadits dengan sanad muttashil (bersambung) sampai ke Rasulullah. Meskipun demikian, dia berani mentashih dan mentadh’ifkan hadits sesuai dengan kesimpulannya sendiri dan bertentangan dengan kaidah para ulama hadits yang menegaskan bahwa sesungguhnya mentashih dan mentadh’ifkan hadits adalah tugas para hafizh (ulama ahli hadits yg menghapal sekurang-kurangnya seratus ribu hadits).”

Inilah tuduhan penulis blog JT. Tuduhan ini berasal dari orang yang tidak tahu kapasitas dirinya. Mestinya, apabila menuduh hendaknya yang ilmiah sehingga tidak memalukan, tidak hanya asal bicara. Semestinya, mereka mempelajari ribuan hadits yang beliau hukumi, baru setelahnya mereka mengeluarkan kesimpulannya. Atau sebelum itu, mereka sudah bisa membaca Arab gundul atau belum? Ataukah mereka hanya membeo kepada orang Timur Tengah yang mengkritik beliau?

Alhamdulillah, tuduhan ini telah disanggah oleh para ulama. Di antaranya asy-Syaikh Muhammad Umar Bazmul dalam kitabnya al-Intishar li Ahlil Hadits. Kesimpulan beliau, ini adalah tuduhan kebodohan atau pura-pura bodoh. Ketahuilah, yang disepakati Ahlus Sunnah—mungkin Abu Salafy tidak ikut kesepakatan ini, -red.—bahwa kemaksuman tidak tetap bagi seorang pun dari umat ini, selain Rasulullah n.

Oleh karena itu, kekeliruan adalah sesuatu yang mungkin terjadi pada siapa saja. Jangankan beliau, ulama dan para hafizh pun tidak lepas darinya. Tetapi, apakah kekeliruan yang sifatnya manusiawi dalam hal yang ijtihadi dan dalam jumlah yang lumrah, menjatuhkan kapasitas ilmiahnya? Tidak seorang pun yang beranggapan demikian selain orang yang bodoh.

Perbedaan penilaian atau hukum dalam beberapa hadits yang terjadi pada beliau tidak keluar dari beberapa hal berikut ini.

1. Perubahan hukum beliau terhadap beberapa hadits disebabkan perkembangan ilmu beliau.
Misalnya, ditemukannya kitab yang baru tercetak, atau sanad lain, mutaba’ah, dan syawahid, atau tersingkapnya kelemahan hadits yang sebelumnya tidak diketahui. Hal ini cukup banyak, seperti yang beliau ungkapkan sendiri dalam mukadimah kitab Shahih Jami’ ash-Shaghir. Alhamdulillah, sekarang telah terbit buku Taraju’at al-Albani, yang menerangkan hadits-hadits yang asy-Syaikh al-Albani mengubah penghukuman beliau terhadap hadits tersebut dari sahih menjadi dhaif atau menjadi hukum yang lain.
2. Hadits yang dalam derajat hasan lighairihi.

Pembahasan hadits hasan lighairihi termasuk maslaah yang paling sulit dalam ilmu hadits. Oleh karena itu, kalau ijtihad ulama suatu saat berubah, itu adalah hal yang sangat wajar, baik pada al-Albani atau yang lain.
Simak penegasan adz-Dzahabi yang tak diragukan keilmuannya dalam ilmu hadits dan para rawi, “Jangan engkau harap bahwa hadits hasan memiliki kaidah yang semua hadits hasan dapat masuk ke dalamnya. Saya putus asa untuk itu. Betapa banyak hadits yang para hafizh ragu dalam hal ini, apakah itu hasan, dhaif, ataukah sahih. Bahkan, seorang hafizh terkadang berubah ijtihadnya dalam menghukumi satu hadits. Suatu hari ia menyatakan sahih, hari yang lain menyatakan hasan, atau justru menyatakannya dhaif. Dan ini benar….” (al-Muqizhah, hlm. 28—29)

3. Hadits-hadits yang beliau dianggap kontradiksi dalam menghukuminya, padahal justru si penuduhnya yang tidak bisa menilai.

4. Hadits-hadits yang asy-Syaikh al-Albani berbeda dalam menghukuminya karena keterbatasan yang sifatnya manusiawi yang tidak ada seorang pun lepas darinya. Yang seperti itu jumlahnya sedikit sekali apabila dibanding ribuan hadits yang beliau hukumi.

Kesimpulan akhir asy-Syaikh Muhammad Bazmul, “Vonis bahwa asy-Syaikh al-Albani kontradiksi dalam menghukumi hadits, dan upaya menghilangkan kepercayaan terhadap ilmu dan buku-bukunya adalah omong kosong belaka, dari orang yang dengki. Tidak ada bobotnya dalam timbangan kebenaran sedikit pun. “ (lihat hlm. 211—216 dengan sedikit penambahan dan ringkasan)


مَنْ ذَا الَّذِي تُرْضَى سَجَايَاهُ كُلُّهَا
كَفَى بِالْمَرْءِ نَبْلاً أَنْ تُعَدَّ مَعَايِبُهُ
Siapakah yang seluruh tabiatnya diridhai
Cukuplah sebagai kemuliaan seseorang itu dapat dihitung cacatnya.

Adapun ucapan penulis dalam blog JT di atas, saya anggap itu ucapan anak ingusan yang tidak tahu ilmu musthalah sama sekali. Siapa yang mensyaratkan orang harus hafal sepuluh hadits dengan sanadnya sampai kepada Rasulullah n, apalagi sanad dari zaman sekarang sampai kepada Rasulullah n?

Siapa yang mensyaratkan untuk menghafal ratusan ribu hadits, baru boleh menghukumi suatu sanad hadits sahih dan dhaifnya?!
Datangkan satu saja pensyaratan dari ulama mutaqaddimin (terdahulu)dalam hal ini, saya tunggu.


Tuduhan Abu Salafy

Ya, Abu Salafy sebutannya, tetapi jangan Anda mengira dia salafi. Mungkin anaknya yang salafi, semoga saja….

Dia katakan, “Syeikh Albani menukil pendapat sebagin kaum Musyabbihah (yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya) seraya membenarkan bahwa:

1. “Barang siapa berkata tentang Allah, ‘Dia dilihat tidak di sebuah jihah/sudut/sisi tertentu,’ hendaknya ia mengoreksi akalnya. Albani berkata, “Jika yang dimaksud dengan jihah adalah perkara ketiadaan dan dia adalah di atas alam semesta ini, di sana tidak ada selain Allah sendirian.”

Abu Salafy berkata, “Demikianlah akidah Salafi yang dibanggakan kaum Salafiyyun Wahhabiyyun yang diyakini Syeikh agung mereka yang sering linglung dalam mentashih atau mentadh’if hadis!
Coba bandingkan dengan akidah ulama Islam seperti yang dirangkum oleh al-Imam ath-Thahawi dalam Aqidah-nya, “Allah tidak dimuat oleh enam sisi seperti halnya makhluk.”
Maksudnya, Mahasuci Allah dari berada di sisi tertentu, sebab yang demikian itu meniscayakan bertempat dan dibatasi oleh batas dan segala konsekuensinya, seperti gerak, diam dll dari sifat makhluk.
Dengan omongannya itu, Syeikh Albani telah menuduh para ulama Islam tidak berakal. Dan pada waktu yang sama ia telah membuktikan bahwa ia telah menyimpang dari akidah Islam yang diyakini para imam Ahlusunnah.


Bantahan

Saya merujuk pada tiga halaman yang dia tunjuk sebagai sumber tuduhannya (Mukhtashar al-‘Uluw, hlm. 7, 156, 285) dalam kitab Mukhtashar al-‘Uluw yang saya miliki. Kitab yang saya miliki adalah cetakan kedua, terbitan al-Maktabul Islami. Akan tetapi, di semua halaman yang disebutkan di atas, tidak ada kata-kata tersebut.

Anehnya, dalam blog JT pada bahasan yang berbeda, yaitu asy-Syaikh al-Albani menyerupakan Allah l dengan makhluk, juga persis menunjuk buku dan halaman itu. Ada kesepakatan apa antara Abu Salafy dengan penulis di blog JT tersebut? Siapa mereka?
Juga pada referensi kedua, kitab (al-Aqidah ath-Thahawiyah Syarah wa Ta’liq al-Albani, hlm. 25) juga tidak saya dapati pada buku saya, cetakan kedua terbitan al-Maktabul Islami. Entah dia merujuk ke cetakan mana? Atau ini kritik ‘ilmiah’ yang bagaimana?

Yang jelas—tanpa saya tunjukkan, biar mereka cari sendiri dan itu mudah—, nukilan itu memang ada dalam buku asy-Syaikh al-Muhaddits al-Albani—semoga Allah l senantiasa membelanya dari rongrongan para musuh sunnah. Yang pertama adalah ucapan Ibnu Abil Izzi al-Hanafi yang dianggap musyabbih oleh Abu Salafy, bukan ucapan al-Albani.

Menjawab kritikan Abu Salafy, saya katakan, maksud dari perkataan yang pertama adalah membantah mazhab Asy’ariyah. Menurut Asy’ariyah, Allah nanti dilihat, tetapi tidak pada arah tertentu. Memang membingungkan, dilihat tapi tidak pada arah tertentu.

Maka dari itu, beliau katakan, “Coba koreksi akalnya.”
Mengapa mereka mengatakan demikian? Mereka mengatakan ‘dapat dilihat’ karena haditsnya banyak, tidak dapat dimungkiri. Di sisi lain, mereka mengatakan ‘tidak dari arah tertentu’ karena mereka tidak meyakini ketinggian Allah l di atas makhluk-Nya. Padahal, dalil bahwa Allah l di atas makhluk-Nya jauh lebih banyak daripada dalil bahwa Allah l dilihat dalam surga, tetapi mengapa yang ini justru diingkari? Alhasil, paduan dari dua keyakinan tadi, “Allah nanti dilihat, tetapi tidak pada arah tertentu.”

Adapun Ahlus Sunnah wal Jamaah (aswaja) meyakini bahwa Allah l di atas makhluk-Nya sehingga Allah l akan dilihat oleh hamba-Nya di atas mereka seperti hamba melihat bulan, sebagaimana hal ini terdapat dalam hadits yang mutawatir.
Adapun ucapan kedua, tampaknya sengaja dia potong untuk membuat bingung pembacanya. Padahal ucapan selengkapnya tidak demikian. Sebelum saya nukil, sedikit akan saya terangkan duduk masalahnya.

Tentang masalah “jihah” yang artinya arah atau sisi, apakah boleh dikatakan Allah pada jihah tertentu? Sebagian kelompok menolak untuk mengatakan bahwa Allah l berada pada jihah tertentu. Tetapi, di balik penolakan itu mereka ingin mengingkari ketinggian Allah l di atas makhluk-Nya. Sebagian lagi mengatakan bahwa Allah pada jihah, apabila yang mengatakan demikian adalah ulama salaf, yang mereka maksud adalah jihah fauqiyah, yakni Allah l di atas makhluk-Nya.

Yang paling tepat adalah mazhab Ahlus Sunnah wal Jamaah yang mengatakan, “Allah di atas makhluk-Nya sebagaimana tersebut dalam ayat dan hadits.” Adapun kata jihah, karena lafadz ini tidak terdapat dalam al-Qur’an dan hadits terkait dengan sifat Allah l, kita menjauhinya.

Karena semua ini, asy-Syaikh al-Albani mengatakan, “Ringkas kata dalam hal jihah, apabila yang dimaksud adalah sesuatu yang ada selain Allah l maka itu makhluk, padahal Allah l adalah di atas makhluk-Nya, tidak ada sesuatu pun dari makhluk yang meliputi-Nya dan membatasi-Nya, karena Dia terpisah dari makhluk sebagaimana akan disebutkan keterangannya dari sejumlah imam. Akan tetapi, apabila yang dimaksud dengan jihah itu adalah sesuatu yang tidak ada dan itu di atas alam ini, maka tidak ada di atas alam ini selain Allah l.”

Dari kutipan di atas, jelas bahwa beliau sedang mendudukkan sikap yang benar terhadap jihah.

Kembali menanggapi Abu Salafy, dari keterangan di atas, rasanya tidak tepat apabila penjelasan al-Albani diadu dengan ucapan ath-Thahawi karena beliau tidak sedang menetapkan jihah secara mutlak. Bagaimana bisa kemudian diadukan dengan pernyataan ath-Thahawi yang tidak menetapkan jihah? Paham, Abu Salafy?

Asy-Syaikh al-Albani meyakini ketinggian Allah l, Allah l di atas hamba-Nya. Ini pun diyakini oleh ath-Thahawi, seperti dalam ucapannya, “Muhiithun bi kulli syai’in wa fauqahu (Mencakup segala sesuatu dan berada di atasnya).”

Adapun ucapan beliau “tidak diliputi oleh enam arah,” maksud beliau adalah Allah l tidak diliputi oleh makhluk-makhluk-Nya. Beliau tidak meniadakan ketinggian Allah l di atas makhluk-Nya. Dengan demikian, tidak ada kontradiksi antara ucapan al-Albani dengan ath-Thahawi. Hanya saja penggunaan ath-Thahawi terhadap kata-kata tersebut yang tidak ada dalam ayat dan hadits lebih baik dihindari.

Hal ini karena bisa saja orang lain akan mengklaim beliau sebagai orang yang kontradiktif: di satu sisi mengatakan Allah l di atas segala sesuatu, di sisi lain mengatakan tidak diliputi oleh enam arah. Padahal maksud beliau dari kata yang terakhir seperti yang telah dijelaskan, bukan menafikan ketinggian Allah l di atas makhluk-Nya. Maka dari itu, semestinya ath-Thahawi mencukupkan dengan lafadz-lafadz yang terdapat dalam al-Qur’an dan as-Sunnah.

Abu Salafy berkata, “Dengan omongannya itu Syeikh Albani telah menuduh para ulama Islam tidak berakal. Dan pada waktu yang sama ia telah membuktikan bahwa ia telah menyimpang dari akidah Islam yang diyakini para imam Ahlusunnah.

Alhamdulillah, al-Albani tidak menuduh para ulama tidak berakal. Beliau hanya meminta mereka yang mengingkari ketinggian Allah l—bukan para ulama sunnah—untuk mengecek akal mereka. Beliau tidak menyimpang dari akidah para imam Ahlus Sunnah, bahkan sejalan dengan mereka. Justru Anda, wahai Abu Salafy, yang menyimpang dari para imam Ahlus Sunnah.

Nah, sebagai bukti saya akan bertanya. Apakah Abu Salafy mengimani akan ketinggian Allah l atau tidak?

Abu Salafy mengatakan, “Maksudnya Mahasuci Allah dari berada di sisi tertentu.”
Menurut Anda, apakah Allah l tidak di atas makhluk-Nya?
Saya tunggu jawabannya.

disusun dari berbagai sumber, di antaranya Muhadditsul ‘Ashr al-Albani, kaset-kaset rekaman ceramah beliau, Majalah al-Ashalah, dan buku-buku beliau yang lain)





http://asysyariah.com/musuh-dakwah-asy-syaikh-al-bani.html

Monday, May 21, 2012

Himpunan Komen Ulamak Ahlus-Sunnah Wal-Jama'ah Mengenai Sambutan Hari Lahir

بسم الله

Berikut adalah beberapa komen mengenai sambutan hari lahir yang sempat aku kumpulkan. Aku nukilkan komen-komen itu dengan sedikit edit dan dengan disertakan sumber ambilan. Komen-komen itu adalah terjemahan ke bahasa Indonesia dari bahasa Arab. Ulamak-ulamak tersebut adalah orang yang layak untuk beri pandangan dalam hal ini kerana keluasan ilmu mereka lantas mereka layak untuk berijtihad dalam masalah ini.

Sila baca.


PERTAMA

SYAIKH MUHAMMAD BIN SOLIH AL-UTHAIMIN

HUKUM MERAYAKAN ULANG TAHUN ANAK

Oleh

Syaikh Muhamamd bin Shalih Al-Utsaimin

Pertanyaan.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apakah perayaan ulang tahun anak termasuk tasyabbuh (tindakan menyerupai) dengan budaya orang barat yang kafir ataukah semacam cara menyenangkan dan menggembirakan hati anak dan keluarganya ?

Jawaban.

Perayaan ulang tahun anak tidak lepas dari dua hal ; dianggap sebagai ibadah, atau hanya adat kebiasaan saja. Kalau dimaksudkan sebagai ibadah, maka hal itu termasuk bid’ah dalam agama Allah. Padahal peringatan dari amalan bid’ah dan penegasan bahwa dia termasuk sesat telah datang dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bersabda :

Artinya : "Jauhilah perkara-perkara baru. Sesungguhnya setiap bid’ah adalah sesat. Dan setiap kesesatan berada dalam Neraka”.

Namun jika dimaksudkan sebagai adat kebiasaan saja, maka hal itu mengandung dua sisi larangan.

Pertama.

Menjadikannya sebagai salah satu hari raya yang sebenarnya bukan merupakan hari raya (‘Ied). Tindakan ini berarti suatu kelancangan terhadap Allah dan RasulNya, dimana kita menetapkannya sebagai ‘Ied (hari raya) dalam Islam, padahal Allah dan RasulNya tidak pernah menjadikannya sebagai hari raya.

Saat memasuki kota Madinah, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapati dua hari raya yang digunakan kaum Anshar sebagai waktu bersenang-senang dan menganggapnya sebagai hari ‘Ied, maka beliau bersabda :

Artinya : "Sesungguhnya Allah telah menggantikan bagi kalian hari yang lebih baik dari keduanya, yaitu ‘Idul Fitri dan ‘Idul Adha”

Kedua.

Adanya unsur tasyabbuh (menyerupai) dengan musuh-musuh Allah. Budaya ini bukan merupakan budaya kaum muslimin, namun warisan dari non muslim. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

Artinya : "Barangsiapa meniru-niru suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka”

Kemudian panjang umur bagi seseorang tidak selalu berbuah baik, kecuali kalau dihabiskan dalam menggapai keridhaan Allah dan ketaatanNya. Sebaik-baik orang adalah orang yang panjang umurnya dan baik amalannya. Sementara orang yang paling buruk adalah manusia yang panjang umurnya dan buruk amalanya.

Karena itulah, sebagian ulama tidak menyukai do’a agar dikaruniakan umur panjang secara mutlak. Mereka kurang setuju dengan ungkapan : “Semoga Allah memanjangkan umurmu” kecuali dengan keterangan ‘ Dalam ketaatanNya” atau “Dalam kebaikan” atau kalimat yang serupa. Alasannya umur panjang kadangkala tidak baik bagi yang bersangkutan, karena umur yang panjang jika disertai dengan amalan yang buruk –semoga Allah menjauhkan kita darinya- hanya akan membawa keburukan baginya, serta menambah siksaan dan malapetaka.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

وَالَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا سَنَسْتَدْرِجُهُم مِّنْ حَيْثُ لَا يَعْلَمُونَ * وَأُمْلِي لَهُمْ ۚ إِنَّ كَيْدِي مَتِينٌ

“Artinya : Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, nanti Kami akan menarik mereka dengan berangsur-angsur (kearah kebinasaan), dengan cara yang tidak mereka ketahui. Dan Aku memberi tangguh kepada mereka. Sesungguhnya rencana-ku amat teguh”

[Al-A’raf 7 : 182-183]

Dan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

وَلَا يَحْسَبَنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا أَنَّمَا نُمْلِي لَهُمْ خَيْرٌ لِّأَنفُسِهِمْ ۚ إِنَّمَا نُمْلِي لَهُمْ لِيَزْدَادُوا إِثْمًا ۚ وَلَهُمْ عَذَابٌ مُّهِينٌ

Artinya :"Dan janganlah sekali-kali orang kafir menyangka bahwa pemberian tangguh Kami kepada mereka adalah lebih baik bagi mereka. Sesungguhnya Kami memberi tangguh kepada mereka hanyalah supaya bertambah-tambah dosa mereka, dan bagi mereka adzab yang menghinakan."

[Ali-Imran 3 : 178]

[Fatawa Manarul Islam 1/43]

[Disalin dari kitab Fatawa Ath-thiflul Muslim, edisi Indonesia 150 Fatwa Seputar Anak Muslim, Penyusun Yahya bin Sa’id Alu Syalwan, Penerjemah Ashim, Penerbit Griya Ilmu]

sumber: http://www.almanhaj.or.id/content/1584/slash/0

(Diedit oleh Ibnu Hasan Al-Amin)

@ @ @ @ @ @ @


KEDUA

SYAIKH ABDUL AZIZ BIN ABDULLAH BIN BAZ

PERAYAAN HARI KELAHIRAN (ULANG TAHUN)

Oleh

Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah. Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarga dan para sahabatnya serta mereka yang mengikuti jejak langkahnya. Amma ba’d.

Saya telah mengkaji makalah yang diterbitkan oleh koran Al-Madinah yang terbit pada hari Senin, tanggal 28/12/1410 H. Isinya menyebutkan bahwa saudara Jamal Muhammad Al-Qadhi, pernah menyaksikan program Abna’ Al-Islam yang disiarkan oleh televisi Saudi yang menayangkan acara yang mencakup perayaan hari kelahiran. Saudara Jamal menanyakan, apakah perayaan hari kelahiran dibolehkan Islam? dst.

Jawaban.

Tidak diragukan lagi bahwa Allah telah mensyari’atkan dua hari raya bagi kaum muslimin, yang pada kedua hari tersebut mereka berkumpul untuk berdzikir dan shalat, yaitu hari raya ledul Fitri dan ledul Adha sebagai pengganti hari raya-hari raya jahiliyah. Di samping itu Allah pun mensyari’atkan hari raya-hari raya lainnya yang mengandung berbagai dzikir dan ibadah, seperti hari Jum’at, hari Arafah dan hari-hari tasyriq. Namun Allah tidak mensyari’atkan perayaan hari kelahiran, tidak untuk kelahiran Nabi dan tidak pula untuk yang lainnya. Bahkan dalil-dalil syar’i dari Al-Kitab dan As-Sunnah menunjukkan bahwa perayaan-perayaan hari kelahiran merupakan bid’ah dalam agama dan termasuk tasyabbuh (menyerupai) musuh-musuh Allah dari kalangan Yahudi, Nashrani dan lainnya. Maka yang wajib atas para pemeluk Islam untuk meninggalkannya, mewaspadainya, mengingkarinya terhadap yang melakukannya dan tidak menyebarkan atau menyiarkan apa-apa yang dapat mendorong pelaksanaannya atau mengesankan pembolehannya baik di radio, media cetak maupun televisi, berdasarkan sabda Nabi Saw dalam sebuah hadits shahih :

Artinya : "Barangsiapa membuat sesuatu yang baru dalam urusan kami (dalam Islam) yang tidak terdapat (tuntunan) padanya, maka ia tertolak.” [1]

Dan sabda beliau :

Artinya : "Barangsiapa yang melakukan suatu amal yang tidak kami perintahkan maka ia tertolak.” [2]

Dikeluarkan oleh Muslim dalam kitab Shahihnya dan dianggap mu’allaq oleh Al-Bukhari namun ia menguatkannya.

Kemudian disebutkan dalam Shahih Muslim dari Jabir Radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa dalam salah satu khutbah Jum’at beliau mengatakan :

“Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah, sebaik-baik tuntunan adalah tuntunan Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, seburuk-buruk perkara adalah hal-hal baru yang diada-adakan dan setiap hal baru adalah sesat.” [3]

Dan masih banyak lagi hadits-hadits lainnya yang semakna. Disebutkan pula dalam Musnad Ahmad dengan isnad jayyid dari Ibnu Umar , bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

Artinya : "Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, berarti ia dari golongan mereka.” [4]

Dalam Ash-Shahihain disebutkan, dari Abu Sa’id Radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda :

Artinya : "Kalian pasti akan mengikuti kebiasaan-kebiasaan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta, bahkan, seandainya mereka masuk ke dalam sarang biawak pun kalian mengikuti mereka.” Kami bertanya, “Ya Rasulullah, itu kaum Yahudi dan Nashrani?” Beliau berkata, “Siapa lagi.” [5]

Masih banyak lagi hadits-hadits lainnya yang semakna dengan ini, semuanya menunjukkan kewajiban untuk waspada agar tidak menyerupai musuh-musuh Allah dalam perayaan-perayaan mereka dan lainnya. Makhluk paling mulia dan paling utama, Nabi kita Muhammad, tidak pernah merayakan hari kelahirannya semasa hidupnya, tidak pula para sahabat beliau pun, dan tidak juga para tabi’in yang mengikuti jejak langkah mereka dengan kebaikan pada tiga generasi pertama yang diutamakan. Seandainya perayaan hari kelahiran Nabi, atau lainnya, merupakan perbuatan baik, tentulah para sahabat dan tabi’in sudah lebih dulu melaksanakannya daripada kita, dan sudah barang tentu Nabi Saw mengajarkan kepada umatnya dan menganjurkan mereka merayakannya atau beliau sendiri melaksanakannya. Namun ternyata tidak demikian, maka kita pun tahu, bahwa perayaan hari kelahiran termasuk bid’ah, termasuk hal baru yang diada-adakan dalam agama yang harus ditinggalkan dan diwaspadai, sebagai pelaksanaan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Sebagian ahli ilmu menyebutkan, bahwa yang pertama kali mengadakan perayaan hari kelahiran ini adalah golongan Syi’ah Fathimiyah pada abad keempat, kemudian diikuti oleh sebagian orang yang berafiliasi kepada As-Sunnah karena tidak tahu dan karena meniru mereka, atau meniru kaum Yahudi dan Nashrani, kemudian bid’ah ini menyebar ke masyarakat lainnya. Seharusnya para ulama kaum muslimin menjelaskan hukum Allah dalam bid’ah-bid’ah ini, mengingkarinya dan memperingatkan bahayanya, karena keberadaannya melahirkan kerusakan besar, tersebarnya bid’ah-bid’ah dan tertutupnya sunnah-sunnah. Di samping itu, terkandung tasyabbuh (penyerupaan) dengan musuh-musuh Allah dari golongan Yahudi, Nashrani dan golongan-golongan kafir lainnya yang terbiasa menyelenggarakan perayaan-perayaan semacam itu. Para ahli dahulu dan kini telah menulis dan menjelaskan hukum Allah mengenai bid’ah-bid’ah ini. Semoga Allah membalas mereka dengan kebaikan dan menjadikan kita semua termasuk orang-orang yang mengikuti mereka dengan kebaikan.

Pada kesempatan yang singkat ini, kami bermaksud mengingatkan kepada para pembaca tentang bid’ah ini agar mereka benar-benar mengetahui. Dan mengenai masalah ini telah diterbitkan tulisan yang panjang dan diedarkan melalui media cetak-media cetak lokal dan lainnya. Tidak diragukan lagi, bahwa wajib atas para pejabat pemerintahan kita dan kementrian penerangan secara khusus serta para penguasa di negara-negara Islam, untuk mencegah penyebaran bid’ah-bid’ah ini dan propagandanya atau penyebaran sesuatu yang mengesankan pembolehannya. Semua ini sebagai pelaksanaan perintah loyal terhadap Allah dan para hambaNya, dan sebagai pelaksanaan perintah yang diwajibkan Allah, yaitu mengingkari kemungkaran serta turut dalam memperbaiki kondisi kaum muslimin dan membersihkannya dari hal-hal yang menyelisihi syari’at yang suci. Hanya Allah lah tempat meminta dengan nama-namaNya yang baik dan sifat-sifat-Nya yang luhur, semoga Allah memperbaiki kondisi kaum muslimin dan menunjuki mereka agar berpegang teguh dengan KitabNya dan Sunnah NabiNya Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta waspada dari segala sesuatu yang menyelisihi keduanya. Dan semoga Allah memperbaiki para pemimpin mereka dan menunjuki mereka agar menerapkan syari’at Allah pada hamba hambaNya serta memerangi segala sesuatu yang menyelisihinya. Sesungguhnya Allah Maha kuasa atas hal itu.

Shalawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan para sahabatnya

[Majmu Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, juz 4.hal. 81]

[Disalin dari kitab Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al Masa’il Al-Ashriyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penyusun Khalid Al-Juraisiy, Penerjemah Musthofa Aini, Penerbit Darul Haq]

__________

Foote Note

[1]. Muttafaq ‘Alaih: Al-Bukhari dalam Ash-Shulh (2697). Muslim dalam Al-Aqdhiyah (1718).

[2]. Al-Bukhari menganggapnya mu’allaq dalam Al-Buyu’ dan Al-I’tisham. Imam Muslim menyambungnya dalam Al-Aqdhiyah (18-1718).

[3]. HR. Muslim dalam Al-Jumu’ah (867).

[4]. HR. Abu Dawud (4031), Ahmad (5093, 5094, 5634).

[5]. HR. AI-Bukhari dalam Al-I’tisham bil Kitab was Sunnah (7320). Muslim dalam Al-Ilm (2669).

Sumber : http://www.almanhaj.or.id/content/498/slash/0

(Diedit oleh Ibnu Hasan Al-Amin)

@ @ @ @ @ @ @


KETIGA

SYAIKH ABDUL AZIZ BIN ABDULLAH BIN BAZ

PERINGATAN HARI KELAHIRAN (ULANG TAHUN)

Oleh

Syaikh Abdul Aiz bin Abdullah bin Baz

Pertanyaan :

Syaikh Abdul Aiz bin Abdullah bin Baz ditanya : Apa hukum perayaan setelah setahun atau dua tahun atau lebih umpamanya, atau kurang, sejak kelahiran seseorang, yaitu yang disebut dengan istilah ulang tahun atau tolak bala. Dan apa hukum menghadiri pesta perayaan-perayaan tersebut. Jika seseorang diundang menghadirinya, apakah wajib memenuhinya atau tidak? Kami mohon jawabannya, semoga Allah membalas Syaikh dengan balasan pahala.

Jawaban :

Dalil-dalil syari’at dari Al-Kitab dan As-Sunnah telah menunjukkan bahwa peringatan hari kelahiran termasuk bid’ah yang diada-adakan dalam agama dan tidak ada asalnya dalam syari’at yang suci, maka tidak boleh memenuhi undangannya karena hal itu merupakan pengukuhan terhadap bid’ah dan mendorong pelaksanaannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman :

أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُم مِّنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَن بِهِ اللَّهُ ۚ

وَلَوْلَا كَلِمَةُ الْفَصْلِ لَقُضِيَ بَيْنَهُمْ ۗ وَإِنَّ الظَّالِمِينَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

Artinya : "Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyari'atkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?

Sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka telah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu akan memperoleh azab yang amat pedih."

[Asy-Syura 42 : 21]

Dalam ayat lain disebutkan :

ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَىٰ شَرِيعَةٍ مِّنَ الْأَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَ الَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ * إِنَّهُمْ لَن يُغْنُوا عَنكَ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا ۚ وَإِنَّ الظَّالِمِينَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ ۖ وَاللَّهُ وَلِيُّ الْمُتَّقِينَ

Artinya : "Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syari’at (peraturan) dari urusan agama itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui. Sesungguhnya mereka sekali-kali tidak akan dapat menolak dari kamu sedikitpun dari (siksaan) Allah. Dan sesungguhnya orang-orang yang zhalim itu sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain, dan Allah adalah pelindung orang-orang yang bertaqwa.”

[Al-Jatsiyah 45 : 18-19]

Dalam ayat lainnya lagi disebutkan :

اتَّبِعُوا مَا أُنزِلَ إِلَيْكُم مِّن رَّبِّكُمْ وَلَا تَتَّبِعُوا مِن دُونِهِ أَوْلِيَاءَ ۗ قَلِيلًا مَّا تَذَكَّرُونَ

Artinya : "Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selainNya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya).”

[Al-A'raf 7 : 3]

Diriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda :

Artinya : "Barang siapa yang melakukan suatu amal yang tidak kami perintahkan maka ia tertolak.” [1]

Dalam hadits lainnya beliau bersabda,

Artinya : "Sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah, sebaik-baik tuntunan adalah tuntunan Muhammad s.a.w., seburuk-buruk perkara adalah hal-hal baru yang diada-adakan dan setiap hal baru adalah sesat.” [2]

Dan masih banyak lagi hadits-hadits lain yang semakna.

Di samping perayaan-perayaan ini termasuk bid’ah yang tidak ada asalnya dalam syari’at, juga mengandung tasyabbuh (menyerupai) kaum Yahudi dan Nashrani yang biasa menyelenggarakan peringatan hari kelahiran, sementara Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memperingatkan agar tidak meniru dan mengikuti cara mereka, sebagaimana sabda beliau,

Artinya : "Kalian pasti akan mengikuti kebiasaan-kebiasaan orang-orang sebelum kalian sejengkal dengan sejengkal dan sehasta dengan sehasta, sampai-sampai, seandainya mereka masuk ke dalam sarang biaivak pun kalian mengikuti mereka.” Kami katakan, “Ya Rasulullah, itu kaum Yahudi dan Nashrani?” Beliau berkata, “Siapa lagi.” [3]

Makna ‘siapa lagi’ artinya mereka itulah yang dimaksud dalam perkataan ini. Kemudian dari itu, dalam hadits lain beliau bersabda :

Artinya : "Barangsiapa menyerupai suatu kaum, berarti ia termasuk golongan mereka” [4]

Dan masih banyak lagi hadits-hadits lain yang semakna.

Semoga Allah menunjukkan kita semua kepada yang diridhai-Nya.

[Majmu' Fatawa wa Maqalat Mutannawwi’ah, juz 4, hal. 283]

[Disalin dari kitab Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al Masa’il Al-Ashriyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penyusun Khalid Al-Juraisiy, Penerjemah Musthofa Aini, Penerbit Darul Haq]

__________

Foote Note

[1]. Dikeluarkan oleh Imam Muslim dalam Al-Aqdhiyah (18-1718). Al-Bukhari menganggapnya mu’allaq dalam Al-Buyu’ dan Al-I’tisham.

[2]. Dikeluarkan oleh Imam Muslim dalam Al-Jumu’ah (867).

[3]. Dikeluarkan oleh Al-Bukhari dan Muslim: Al-Bukhari dalam Ahaditsul Anbiya’ (3456). Muslim dalam Al-‘Ilm (2669).

[4]. Ahmad (5094, 5634). Abu Dawud (4031)..



Sumber :

http://www.almanhaj.or.id/content/294/slash/0


(Diedit oleh Ibnu Hasan Al-Amin)

Saturday, May 5, 2012

HERDIKAN ISLAM

Ramai sudah aku jumpa orang yang "pandai" yang merasakan tidak boleh mengeluarkan kata-kata keras kepada orang lain samada dalam perbualan atau semasa berda'wah. Apabila aku mengeluarkan kata-kata yang keras dan kesat kepada orang yang bodoh sombong lagi degil, mereka segera tuduh aku telah memaki hamun. Mereka kata Nabi sollAllohu 'alaihi wa aalihi wa sallam tidak pernah berkasar.

Apakah benar kata-kata orang bodoh itu. Jawapannya ialah tidak benar, kerana Al-Quran dan As-Sunnah dan perbuatan kholifah Islam telah membuktikan sangkaan mereka itu adalah salah. Mereka yang jahil itu hanya bersangka-sangka sahaja tentang Islam tanpa melihat kepada dalil yang sohih.

Berikut di bawah ini aku bawakan sebahagian dalil yang menunjukkan perkataan yang keras dari orang yang beriman. Sila baca.


DALIL PERTAMA

قَالَ لَهُم مُّوسَىٰ وَيْلَكُمْ لَا تَفْتَرُوا عَلَى اللَّهِ كَذِبًا فَيُسْحِتَكُم بِعَذَابٍ ۖ وَقَدْ خَابَ مَنِ افْتَرَىٰ

Berkata Musa kepada mereka: "CELAKA KAMU, janganlah kamu mengada-adakan kedustaan terhadap Alloh, maka Dia membinasakan kamu dengan siksa". Dan sesungguhnya telah merugi orang yang mengada-adakan kedustaan.

Al-Quran Surah Toha 20 : Ayat 61


DALIL KEDUA

وَقَالَ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ وَيْلَكُمْ ثَوَابُ اللَّهِ خَيْرٌ لِّمَنْ آمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا وَلَا يُلَقَّاهَا إِلَّا الصَّابِرُونَ

Berkatalah orang-orang yang dianugerahi 'ilmu: "CELAKA KAMU, pahala Alloh adalah lebih baik bagi orang-orang yang beriman dan ber'amal saleh, dan tidak diperoleh pahala itu kecuali oleh orang-orang yang sobar".

Al-Quran Surah Al-Qosos 28 : Ayat 80.


DALIL KETIGA

وَالَّذِي قَالَ لِوَالِدَيْهِ أُفٍّ لَّكُمَا أَتَعِدَانِنِي أَنْ أُخْرَجَ وَقَدْ خَلَتِ الْقُرُونُ مِن قَبْلِي وَهُمَا يَسْتَغِيثَانِ اللَّهَ وَيْلَكَ آمِنْ إِنَّ وَعْدَ اللَّهِ حَقٌّ فَيَقُولُ مَا هَـٰذَا إِلَّا أَسَاطِيرُ الْأَوَّلِينَ

Dan orang yang berkata kepada dua orang ibu bapanya: "Cis bagi kamu keduanya, apakah kamu keduanya memperingatkan kepadaku bahawa aku akan dibangkitkan, padahal sungguh telah berlalu beberapa umat sebelumku?" lalu kedua ibu bapanya itu memohon pertolongan kepada Alloh seraya mengatakan, "CELAKA ENGKAU, berimanlah! Sesungguhnya janji Alloh adalah benar". Lalu dia berkata: "Ini tidak lain hanyalah dongengan orang-orang yang dahulu belaka".

Al-Quran Surah Al-Ahqof 46 : Ayat 17.


DALIL KEEMPAT

عَنْ اَبِيْ سَعِيْدِ الْخُدْرِيِّ قَالَ : بَيْنَمَا نَحْنُ عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وهُوَ يَقْسِمُ قِسْمًا اَتَاهُ ذُوْ الْخُوَيْصِرَةِ وَهُوَ رَجُلٌ مِنْ بَنِيْ تَمِيْمِ فَقَالَ : يَا رَسُوْلَ اللهِ اِعْدِلْ . قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلِيْهِ وَسَلَّمَ : وَيْلَكَ وَمَنْ يَعْدِلْ اِنْ لَمْ اَعْدِلْ؟ قَدْ خِبْتُ وَخَسِرْتُ اِنْ لَمْ اَعْدِلُ ؟ فَقَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ : يَا رَسُوْلَ اللهِ ! آئِذَنْ لِيْ فِيْهِ اَضْرِبُ عُنُقَهُ . قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: دَعْهُ فَاِنَّ لَهُ اَصْحَابًا يَحْقِرُ اَحَدُكُمْ صَلاَتَهُ مَعَ صَلاَتِهِمْ ، وَصِيَامُهُ مَعَ صِيَامِهِمْ ، يَقْرَؤُوْنَ الْقُرْآنَ لاَيُجَاوِزُ تَرَاقِيُهُمْ يَمْرُقُوْنَ مِنَ الْلاِسْلاَمِ كَمَا يَمْرُقُ السَّهَمُ مِنَ الرَّمِيَّةِ.

Dari Abi Sa’id Al-Khudri, dia berkata : Ketika kami bersama Rasulillah sollAllahu ‘alaihi wa sallam di suatu ketika beliau sedang membahagi-bahagikan beberapa pembahagian, datanglah kepada baginda Zul-Khuwaisiroh dari Bani Tamim dan berkata :

“Wahai Rasulalloh berlaku 'adillah”

Berkata rasululloh sollAllohu ‘alaihi wa sallam :

CELAKA ENGKAU! Siapakah yang akan berlaku 'adil jika aku tidak 'adil, dosalah aku dan merugilah jika aku tidak berlaku 'adil”.

Maka Umar Bin Al-Khottob rodiyallohu ‘anhu berkata :

“Wahai Rasulalloh! Izinkan aku untuk memenggal lehernya.

Rasululloh sollAllohu ‘alaihi wa sallam berkata :

“Biarkan dia, kerana dia mempunyai teman-teman yang salah seorang antara kamu akan diremehkan solatnya jika dibandingkan dengan solat mereka dan puasanya jika dibandingkan dengan puasa mereka. Mereka membaca Al-Quran tetapi tidak melebihi kerongkong mereka, mereka terlepas dari Islam sebagaimana terlepasnya anak panah dari busurnya”.

Hadis Riwayat Al-Bukhori 3610, Muslim 1064 dan Ahmad 224.


DALIL KELIMA

Imam Ad-Darimi dalam Sunannya telah membawakan riwayat sebagai berikut :

أخبرنا الحكم بن المبارك، أنبأنا عمرو بن يحيى قال : سمعت أبي يحدث، عن أبيه قال : كُنَّا نَجْلِسُ عَلَى بَابِ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُودٍ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – قَبْلَ صَلَاةِ الغَدَاةِ، فَإِذَا خَرَجَ، مَشَيْنَا مَعَهُ إِلَى الْمَسْجِدِ، فَجَاءَنَا أَبُوْ مُوْسَى الْأَشْعَرِيُّ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – فَقَالَ : أَخَرَجَ إِلَيْكُمْ أَبُو عَبْدِ الرَّحْمَنِ قُلْنَا : لَا، بَعْدُ. فَجَلَسَ مَعَنَا حَتَّى خَرَجَ، فَلَمَّا خَرَجَ، قُمْنَا إِلَيْهِ جَمِيْعًا، فَقَالَ لَهُ أَبُو مُوسَى : يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ، إِنَّي رَأَيْتُ فِي الْمَسْجِدِ آنِفًا أَمْرًا أَنْكَرْتُهُ وَلَمْ أَرَ – وَالْحَمْدُ للهِ – إِلَّا خَيْرًا. قَالَ : فَمَا هُوَ ؟ فَقَالَ : إِنْ عِشْتَ فَسَتَرَاهُ. قَالَ : رَأَيْتُ فِي الْمَسْجِدِ قَوْمًا حِلَقًا جُلُوْسًا يَنْتَظِرُوْنَ الصَّلَاةَ فِي كُلِّ حَلَقَةٍ رَجُلٌ، وَفِيْ أَيْدِيْهِمْ حَصًا، فَيَقُوْلُ : كَبِّرُوا مِئَةً، فَيُكَبِّرُوْنَ مِئَةً، فَيَقُوْلُ : هَلِّلُوا مِئَةً، فَيُهَلِّلُونَ مِئَةً، فَيَقُولُ : سَبِّحُوا مِئَةً، فَيُسَبِّحُونَ مِئَةً. قَالَ : فَمَاذَا قُلْتَ لَهُمْ ؟ قَالَ : مَا قُلْتُ لَهُمْ شَيْئًا انْتِظَارَ رَأْيِكَ أَوِ انْتِظَارَ أَمْرِكَ. قَالَ : أَفَلَا أَمَرْتَهُمْ أَنْ يَعُدُّوا سَيِّئَاتِهِمْ، وَضَمِنْتَ لَهُمْ أَنْ لَا يَضِيْعَ مِنْ حَسَنَاتِهِم، ثَمَّ مَضَى وَمَضَيْنَا مَعَهُ حَتَّى أَتَى حَلَقَةً مِنْ تِلْكَ الْحِلَقِ، فَوَقَفَ عَلَيْهِمْ، فَقَالَ : مَا هَذا الَّذِيْ أَرَاكُمْ تَصْنَعُوْنَ ؟ قَالُوا : يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ حَصًا نَعُدَّ بِهِ التَّكْبِيْرَ والتَّهْلِيلَ وَالتَّسْبِيْحَ. قَالَ : فَعُدُّوا سَيِّئَاتِكُمْ، فَأَنَا ضَامِنٌ أَنْ لَا يَضِيْعَ مِنْ حَسَنَاتِكُمْ شَيْءٌ وَيْحَكُمْ يَا أُمَّةَ مُحَمَّدٍ، مَا أَسْرَعَ هَلَكَتكُمْ ! هَؤُلَاءِ صَحَابَةُ نَبِيِّكُمْ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُتَوَافِرُوْنَ، وَهَذِهِ ثِيَابُهُ لَمْ تَبْلَ، وَآنِيَتُهُ لَمْ تُكْسَرْ، وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، إِنَّكُمْ لَعَلَى مِلَّةٍ هِيَ أَهْدَى مِنْ مِلَّةِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ مُفْتَتِحُو بَابِ ضَلَالَةٍ. قَالُوا : وَاللهِ يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ، مَا أَرَدْنَا إِلَّا الْخَيْرَ. قَالَ : وَكَمْ مِنْ مُرِيْدٍ لِلْخَيْرِ لَنْ تُصِيْبَهُ، إِنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَدَّثَنَا أَنَّ قَوْمًا يَقْرَؤُونَ الْقُرْآنَ لَا يُجَاوِزُ تَرَاقِيَهُمْ، وَايْمُ اللهِ مَا أَدْرِيْ لَعَلَّ أَكْتَرَهُمْ مِنْكُمْ، ثُمَّ تَوَلَّى عَنْهُمْ. فَقَالَ عَمْرُو بْنُ سَلَمَةَ : رَأَيْنَا عَامَّةَ أُولَئِكَ الْحِلَقِ يُطَاعِنُونَا يَوْمَ النَّهْرَوَانِ مَعَ الْخَوَارِجِ.

Telah mengkhobarkan kepada kami Al-Hakam Bin Al-Mubarok : Telah memberitakan kepada kami ‘Amru bin Yahya, dia berkata : Aku mendengar bapaku meriwayatkan hadis dari bapanya, dia berkata :

“Sebelum solat Subuh, kami biasa duduk di depan pintu ‘Abdulloh bin Mas’ud rodiyallohu ‘anhu. Jika dia sudah keluar rumah, maka kami pun berjalan bersamanya menuju masjid. kemudian kami didatangi oleh Abu Musa Al-Asy’ari rodiyallohu ‘anhu, dan bertanya : “Apakah Abu ‘Abdir-Rohman (‘Abdulloh bin Mas’ud) sudah keluar menemui kamu?”. Kami menjawab : “Belum”. Lalu dia pun duduk bersama kami hingga dia (‘Abdulloh bin Mas’ud) keluar rumah.

Setelah dia keluar, kami pun bangkit menemuinya. Abu Musa berkata : “Wahai Aba ‘Abdir-Rohman, tadi aku melihat kejadian yang aku ingkari di masjid, namun aku menganggap, segala puji bagi Alloh, hal itu adalah baik”. Kata Ibnu Mas’ud : “Apakah itu?”. Abu Musa menjawab : “Jika engkau berumur panjang, engkau akan mengetahui. Ada sekelompok orang di masjid, mereka duduk berhalaqoh sedang menunggu solat. Setiap kelompok dipimpin oleh seseorang, sedangkan di tangan mereka terdapat kerikil. Lalu pimpinan halaqoh tadi berkata : “Bertakbirlah seratus kali”, maka mereka pun bertakbir seratus kali; “Bertahlillah seratus kali”, maka mereka pun bertahlil seratus kali; “Bertasbihlah seratus kali”, maka mereka pun bertasbih seratus kali”. Ibnu Mas’ud bertanya : “Lalu apa yang engkau katakan kepada mereka ?”. Abu Musa menjawab : “Aku tidak berkata apa-apa hingga aku menunggu apa yang akan engkau katakan atau perintahkan”. Ibnu Mas’ud berkata : “Tidakkah engkau katakan kepada mereka agar mereka menghitung kesalahan mereka dan kamu jamin bahwa kebaikan mereka tidak akan disia-siakan”.

Lalu Ibnu Mas’ud berlalu menuju masjid tersebut dan kami pun mengikuti di belakangnya hingga sampai di tempat itu. Ibnu Mas’ud bertanya kepada mereka : “Benda apa yang aku lihat kamu pergunakan ini ?”. Mereka menjawab : “Kerikil wahai Aba ‘Abdir-Rohman. Kami bertakbir, bertahlil, dan bertasbih dengan mengunakannya”. Ibnu Mas’ud berkata : “Hitunglah kesalahan-kesalahan kamu, aku jamin kebaikan-kebaikan kamu tidak akan disia-siakan sedikitpun. CELAKALAH KAMU wahai umat Muhammad! Betapa cepat kebinasaan / penyimpangan yang kamu lakukan. Para sohabah Nabi kamu masih ramai yang hidup. Sementara baju baginda sollAllohu ‘alaihi wa sallam juga belum lagi usang, bejana baginda belum juga retak. Demi Zat yang diriku berada di tanganNya! Apakah kamu merasa berada di atas millah yang lebih benar daripada millah Muhammad sollAllohu ‘alaihi wa sallam ataukah kamu akan menjadi pembuka pintu kesesatan?”. Mereka menjawab : “Wahai Aba ‘Abdir-Rohman, kami tidaklah menghendaki kecuali kebaikan”. Ibnu Mas’ud menjawab : “Betapa banyak orang yang menghendaki kebaikan namun dia tidak mendapatkannya. Sesungguhnya Rosulalloh sollAllohu ‘alaihi wa sallam pernah berkata kepada kami :

“Akan ada segolongan orang yang membaca Al-Quran, namun apa yang dibacanya itu tidak melewati kerongkongnya”.

Demi Alloh, aku tidak tahu, boleh jadi kebanyakan dari mereka adalah sebagian di antara kamu”.

‘Amr bin Salamah berkata : “Kami melihat kebanyakan diantara orang-orang yang ikut dalam halaqoh itu adalah orang yang menyerang kami dalam Perang Nahrowan yang bergabung bersama orang-orang Khowarij””


DALIL KEENAM

Ibnu Abi ‘Asim meriwayatkan dengan isnad yang sohih, bahwa ‘Ali bin Abi Tolib rodiyallohu 'anhu pernah melihat seorang lelaki yang menuturkan cerita, lalu dia berkata :

"Aku mengetahui yang nasikh dan yang mansukh".

Tapi kemudian dia (lelaki itu) berkata :

"Tidak".

Maka 'Ali berkata :

ENGKAU CELAKA dan membuatkan orang lain celaka”.

Dinukilkan dari kitab Al-Muzakkir Wa At-Tazkir karya Ibnu Abi ‘Asim halaman 82.

DALIL KEENAM ini aku nukil dari buku Nasyid Bid’ah? karya Isham Abdul-Munim Al-Murry, edisi terjemahan Indonesia dengan edit.

@@@@@@@

Wallohu a'lam